PRINSIP-PRINSIP EVALUASI DALAM PEMBELAJARAN

PRINSIP-PRINSIP EVALUASI DALAM PEMBELAJARAN
Wakhinuddin S
Evaluasi adalah suatu proses, yakni proses menentukan sampai berapa jauh kemampuan yang dapat dicapai oleh siswa dalam proses belajar mengajar. Kemampuan yang diharapkan tersebut sebelumnya sudah ditetapkan secara operational. Selanjutnya juga ditetapkan patokan pengukuran hingga dapat diperoleh penilaian (value judgement), Kare¬na itu dalam evaluasi diperlukan prinsip-prinsip sebagai petunjuk agar dalam pelaksanaan evaluasi dapat lebih efektif. Prinsip-prinsip itu antara lain:
a.      Kepastian dan kejelasan.
Dalam proses evaluasi maka kepastian dan kejelasan yang akan dievaluasi menduduki urutan pertama. Evaluasi akan dapat dilaksanakan apabila tujuan evaluasi tidak dirumuskan dulu secara jelas da¬lam. definisi yang operational. Bila kita ingin mengevaaluasi kemajuan belajar siswa maka pertama-tama kita identifikasi dan kita definisikan tujuan-tujuan instruksional pengajaran dan barulah kita kembangkan alat evaluasinya. Dengan demikian efektifitas alat evaluasi tergantung pada deskripsi yang jelas apa yang akan kita evaluasi. Pada umumnya alat evaluasi dalam pendidikan terutama pengajaran berupa test. Test ini mencerminkan karakteristik aspek yang akan di¬ukur. Kalau kita akan mengevaluasi tingkat intelegensi siswa, maka komponen-komponen intelegensi itu harus dirumuskan dengan jelas dan kemampuan belajar yang dicapai dirumuskan dengan tepat selanjutnya dikembangkan test sebagai alat evaluasi. Dengan demikian keberhasilan evaluasi lebih banyak ditentukan kepada kemampuan guru (evaluator) dalam merumuskan/mendefinisikan dengan jelas aspek-aspek individual ke dalam proses pendidikan.
b.      Teknik evaluasi
Teknik evaluasi yang dipilih sesuai dengan tujuan evaluasi. Hendaklah diingat bahwa tidak ada teknik evaluasi yang cocok untuk semua ke¬perluan dalam pendidikanl Tiap-tiap tujuan (pendidikan) yang ingin di¬capai dikembangkan tekmk evaluasi tersendiri yang cocok dengan tuju¬an tersebut. Kecocokan antara tujuan evaluasi dan teknik yang diguna¬kan perlu dijadikan pertimbangan utama.
c.       Komprehensif.
Evaluasi yang komprehensif memerlukan tehnik bervariasi. Tidak adalah teknik evaluasi tunggal yang mampu mengukur tingkat kemampuan siswa dalam belajar, meskipun hanya dalam satu pertemuan jam pelajar¬an. Sebab dalam kenyataannya tiap-tiap teknik evaluasi mempunyai ke¬terbatasan-keterbatasan tersendiri. Test obyektif misalnya akan mem¬berikan bukti obyektif tentang tingkat kemampuan siswa. Tetapi hanya memberikan informasi sedikit dari siswa tentang apakah ia benar-benar mengerti tentang materi tersee. but, apakah sudah dapat mengembangkan ketrampilan berfikirnya, apakah akan dapat mengubah / mengembang¬kan sikapnya apabila menghadapi situasi yang nyata dan sebagainya. Lebih-lebih pada test subyektif yang penilaiannya lebih banyak tergan¬tung pada subyektivitas evaluatornya.
Atas dasar prinsip inilah maka seyogyanya dalam proses belajar-me¬ngajar, untuk mengukur kemampuan belajar siswa digunakan teknik evaluasi yang bervariasi. Bob Houston seorang ahli evaluasi di Amerika Serikat (Texas) menyarankan untuk mendapatkan hasil yang lebih I obyektif dalam evaluasi, maka variasi teknik tidak hanya dikembangkan dalam bentuk pengukuran kuantitas saja. Evaluasi harus didasarkan pula data kualitatif siswa yang diperoleh dari observasi guru, Kepala Sekolah, catatan catatan harian dan sebagainya.
d.      Kesadaran adanya kesalahan pengukuran.
                    Evaluator harus menyadari keterbatasan dan kelemahan dalam tek¬nik evaluasi yang digunakan. Atas dasar kesadaran ini, maka dituntut untuk lebih hati-hati dalam kebijakan-kebijakan yang diambil setelah melaksanakan evaluasi. Evaluator menyadari bahwa dalam pengukuran yang dilaksanakan, hanya mengukur sebaglan (sampel) saja dari suatu kompleksitas yang seharusnya diukur, lagi pula pengukuran dilakukan hanya pada saat tertentu saja. Maka dapat terjadi salah satu aspek yang sifatnya menonjol yang dimi liki siswa tidak termasuk dalam sampel pe¬ngukuran. Inilah yang disebut sampling error dalam evaluasi.
e.       Evaluasi adalah alat, bukan tujuan.
Evaluator menyadari sepenuhnya bahwa tiap-tiap teknik evaluasi digunakan sesuai dengan tujuan evaluasi. Hasil evaluasi yang diperoleh tanpa tujuan tertentu akan membuang waktu dan uang, bahkan merugi¬kan anak didik. Maka dari itu yang perlu dirumuskan lebih dahulu ialah tujuan evaluasi, baru dari tujuan ini dikembangkan teknik yang akan di¬gunakan dan selanjutnya disusun test sebagai alat evaluasi. Jangan sam¬pai terbalik, sebab tanpa diketahui tujuan evaluasi data-yang diperoleh akan sia-sia. Atas dasar pengertian tersebut di atas maka kebijakan-kebi¬jakan pendidikan yang akan diambil dirumuskan dulu dengan jelas sebelumnya dipilih prosedur evaluasi yang digunakan dengan demikian.
Syarat – Syarat Evaluasi Program
Untuk dapat menjadi evaluator, seseorang harus memnuhi persyaratan sebagai berikut :
  1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi program yang didukung oleh teori dan keterampilan prakatek.
  2. Cermat, dapat melihat celah – celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
  3. Objektif, tidak mudah dipengaruh oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil keimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus di ikuti.
  4. Sabar dan tekun,agar di dalam melaksanakan tugas dimulaia membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak  gegabah dan tergesa – gesa.
  5. Hati – hati dan Bertanggung Jawab.yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung risiko atas segala kesalahannya.
Berdasarkan persyaratan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi evaluator. Sebuah Instrumen Evaluasi Hasil Belajar Hendaknya memenuhi syarat sebelum di gunakan untuk mengevaluasi atau mengadakan penilaian agar terhindar dari kesalahan dan hasil yang tidak valid (tidak sesuai kenyataan sebenarnya). Alat evaluasi yang kurang baik dapat mengakibatkan hasil penilaian menjadi bias atau tidak sesuainya hasil penilaian dengan kenyataan yang sebenarnya, seperti contoh anak yang pintar dinilai tidak mampu atau sebaliknya.
Jika terjadi demikian perlu ditanyakan apakah persyaratan instrumen yang digunakan menilai sudah sesuai dengan kaidah-kaidah penyusunan instrumen.
Instrumen Evaluasi yang baik memiliki ciri-ciri dan harus memenuhi beberapa kaidah antara lain
1. Validitas
2. Reliabilitas
3. Objectivitas
4. Pratikabilitas
5. Ekomonis
6. Taraf  Kesukaran
7. Daya Pembeda
Validitas
Sebuah Instrumen Evaluasi dikatakan baik manakala memiliki validitas yang tinggi. Yang dimaksud Validitas disini adalah kemampuan instrumen tersebut mengukur apa yang seharusnya diukur. Ada tiga Aspek yang hendak dievaluasi dalam evaluasi hasil belajar yaitu Aspek Kognitif, Psikomotor dan Afektif.Tinggi Rendah nya validitas instrumen dapat di hitung dengan uji validitas dan di nyatakan dengan koefisien validitas.
Reliabilitas
Instrumen dikatakan memiliki reliabilitas yang tinggi manakala instrumen tersebut dapta menghasilkan hasil pengukuran yang ajeg. Keajegan/ketetapn disini tidak diartikan selalu sama tetapi mengikuti perubahan secara ajeg. Jika keadaan seseorang si upik berada lebih rendah dibandingkan orang lain misalnya si Badu, maka jika dilakukan pengukuran ulang hasilnya si upik juga berada lebih rendah terhadap si badu. Tinggi rendahnya reliabilitas ini dapat di hitung dengan uji reliabilitias dan dinyatakan dengan koefisien reliabilitas.
Objectivitas
Instrumen evaluasi hendaknya terhindar dari pengaruh-pengaruh subyektifitas pribadi dari si evaluator dalam menetapkan hasilnya. Dalam menekan pengaruh subyektifitas yang tidak bisa dihindari hendaknya evaluasi dilakukan mengacu kepada pedoman tertama menyangkut masalah kontinuitas dan komprehensif.
Evaluasi harus dilakukan secara kontinu (terus-menerus). Dengan evaluasi yang berkali-kali dilakukan maka evaluator akan memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang  keadaan Audience yang dinilai. Evaluasi yang diadakan secara on the spot dan hanya satu atau dua kali, tidak akan dapat memberikan hasil yang obyektif tentang keadaan audience yang di evaluasi. Faktor kebetulan akan sangat mengganggu hasilnya.
Praktikabilitas
Sebuah intrumen evaluasi dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila bersifat praktis mudah pengadministrasiannya dan memiliki ciri : Mudah dilaksanakan, tidak menuntut peralatan  yang banyak dan memberi kebebasan kepada audience mengerjakan yang dianggap mudah terlebih dahulu. Mudah pemeriksaannya artinya dilengkapi pedoman skoring, kunci jawaban. Dilengkapi petunjuk yang jelas sehingga dapat di laksanakan oleh orang lain.


Ekonomis
Pelaksanaan evaluasi menggunakan instrumen tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal tenaga yang banyak dan waktu yang lama.
Taraf Kesukaran
Instrumen yang baik terdiri dari butir-butir instrumen yang tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Butir soal yang terlalu mudah tidak mampu merangsang audience mempertinggi usaha memecahkannya sebaliknya kalau terlalu sukar membuat audiece putus asa dan tidak memiliki semangat untuk mencoba lagi karena diluar jangkauannya. Di dalam isitlah evaluasi index kesukaran ini diberi simbul p yang dinyatakan dengan “Proporsi”.
Daya Pembeda
Daya pembeda sebuah instrumen adalah kemampuan instrumen tersebut membedakan antara audience yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan audience yang tidak pandai (berkemampuan rendah). Indek daya pembeda ini disingkat dengan D dan dinyatakan dengan Index Diskriminasi.
Aspek dan Dimensi Evaluasi Program
Evaluasi model CIPP dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, manajemen, perusahaan serta dalam berbagai jenjang baik itu proyek, program maupun institusi. Dalam bidang pendidikan Stufflebeam (2003) menggolongkan sistem pendidikan atas empat dimensi, yaitu context, input, process, dan product, sehingga model evaluasi yang ditawarkan diberi nama CIPP model yang merupakan singkatan ke empat dimensi tersebut.
Sudjana dan Ibrahim (2004:246) menerjemahkan masing-masing dimensi tersebut dengan makna:
  1. Context, situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam sistem yang bersangkutan, situasi ini merupakan faktor eksternal, seperti misalnya masalah pendidikan yang dirasakan, keadaan ekonomi negara, dan pandangan hidup masyarakat,
  2. Input, sarana/modal/bahan dan rencana strategi yang ditetapkan untuk mencapai tujuan pendidikan, komponen input meliputi siswa, guru, desain, saran, dan fasilitas,
  3. Process, pelaksanaan strategi dan penggunaan sarana/modal/bahan di dalam kegiatan nyata di lapangan, komponen proses meliputi kegiatan pembelajaran, pembimbingan, dan pelatihan,
  4. Product, hasil yang dicapai baik selama maupun pada akhir pengembangan sistem pendidikan yang bersangkutan, komponen produk meliputi pengetahuan, kemampuan, dan sikap (siswa dan lulusan).

Level pertama (atau juga disebut sebagai Participant Reaction) adalah mengevaluasi efektivitas training dengan cara menanyakan kepuasan dari para peserta mengenai berbagai aspek pelatihan, misalnya kepuasan terhadap mutu materi, kualitas instruktur atau pun mutu tempat akomodasi pelatihan. Jadi dalam level ini yang jadi fokus pengukuran adalah kepuasan peserta pelatihan. Pengukuran semacam ini sudah lazim dilakukan oleh setiap penyelnggaran pelatihan.

Selanjutnya, dalam level kedua yang diukur adalah aspek pembelajaran para peserta - yakni apakah pengetahuan para peserta menjadi kian bertambah setelah mengikuti kegiatan training. Level kedua ini disebut juga sebagai level Learning. Evaluasi level kedua ini umumnya dilakukan dengan cara memberikan pre- dan post-test untuk menguji daya serap para peserta mengenai beragam materi yang telah diajarkan dalam proses pelatihan.

Level ketiga evaluasi bersifat lebih vital karena ia mengukur apakah materi pelatihan yang diajarkan telah diaplikasikan oleh para peserta dalam pekerjaan sehari-harinya. Level ketiga ini disebut juga sebagai Behavior Application. Jadi disini, dilihat apakah materi training memang benar-benar dipraktekkan untuk merubah perilaku para peserta menuju perilaku unggul yang diharapkan. Tak banyak perusahaan yang melakukan kegiatan evaluasi pada level ini - padahal aspek ini merupakan elemen yang sangat penting. Pengukuran level ini biasanya dilakukan enam bulan hingga satu tahun setelah proses pelatihan; dan difokuskan untuk melihat sejauh materi training memberikan dampak positif bagi perubahan perilaku dan peningkatan kinerja para peserta pelatihan.

Level pengukuran terakhir dari proses evaluasi training adalah mengukur apakah kegiatan training yang telah dilakukan dapat memberikan dampak positif bagi kinerja perusahaan atau unit bisnis dimana para peserta bekerja. Level ini disebut juga sebagai Business Impact. Secara spesifik, fokus dari pengukuran pada level ini adalah melihat sejauh mana kontribusi kegiatan pelatihan terhadap kinerja bisnis. Misal, apakah setelah dilakukan training mengenai selling skills, terdapat peningkatan volume penjualan atau tidak. Atau juga setelah dilakukan training mengenai Quality Management, apakah terdapat penurunan yang signifikan terhadap jumlah produk cacat atau tidak.

Para pengelola training semestinya selalu melakukan evaluasi atas kegiatan training yang telah mereka selenggarakan - baik pada level 1 dan 2, dan juga yang lebih penting pengukuran pada level 3 dan 4. Sebab hanya dengan itulah, kita bisa yakin apakah anggaran training yang telah diinvestasikan benar-benar memberi value bagi kemajuan perusahaan.


Kesalahan – Kesalahan dalam Evaluasi Program
Apa yang dipermaslahkan dalam suatu kegiatan evaluasi program bisanya perlu dijelaskan terlebih dahulu dalam laporan evaluasi. Ini wajar dan dapat dimengerti sebab setiap evaluasi adalah untuk menjawab suatu permasalahan. Adanya kegiatan evaluasi dikarenakan adanya suatu masalah yang ingin dipecahkan melalui evaluasi yang dilaporkan itu.
Segi – segi mengenai masalah evaluasi bisa mencangkup beberapa hal, seperti bagaimana rumusan masalahnya, latar belakang mengenai masalha tersebut dipilaih untuk di evaluasi, apa tujuan yang ingin dicapai dengan mengevaluasi masalah tersebut, dan tujuan teori/ atau kepustakaan/ hasil – hasil evaluasi sebelumnya yang berkaitan dengan evaluasi tersebut.
Dalam laporan evaluasi kajian mengenai teori / kepustakaan / hasil – hasil evaluasi sebelumnya tidak dimaksudkan untuk merumuskan hipotesis. Hal ini dilakukan untuk menentukan asumsi – asumsi yang digunakan, ruang lingkup,evaluasi, dan batasan – batasan istilah / konsep yang digunakan. Dalam laporan evaluasi pun perlu disertai penjelasan tentang letak ( site ) tempat evaluasi diselenggarakan.
Evaluator Progam
Siapakah yang melakukan evaluasi program ? Pertanyaan tersebut tidak lain diajukan untuk menyebutkan siapa yang menjadi evaluator program. Apakah semua orang berhak menjadi evaluator program ? Tentu saja tidak. Untuk dapat menjadi evaluator, seseorang harus memenuhi persyaratan sebagai berikut.
  1. Mampu melaksanakan, persyaratan pertama yang harus dipenuhi oleh evaluator adalah bahwa mereka harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan evaluasi program yang didukung oleh teori dan keterampilan prakatek.
  2. Cermat, dapat melihat celah – celah dan detail dari program serta bagian program yang akan dievaluasi.
  3. Objektif, tidak mudah dipengaruh oleh keinginan pribadi, agar dapat mengumpulkan data sesuai dengan keadaannya, selanjutnya dapat mengambil keimpulan sebagaimana diatur oleh ketentuan yang harus di ikuti.
  4. Sabar dan tekun,agar di dalam melaksanakan tugas dimulaia membuat rancangan kegiatan dalam bentuk menyusun proposal, menyusun instrument, mengumpulkan data, dan menyusun laporan, tidak  gegabah dan tergesa – gesa.
  5. Hati – hati dan Bertanggung Jawab.yaitu melakukan pekerjaan evaluasi dengan penuh pertimbangan, namun apabila masih ada kekeliruan yang diperbuat, berani menanggung risiko atas segala kesalahannya.
Berdasarkan persyaratan di atas dapat disimpulkan bahwa tidak semua orang dapat menjadi evaluator.  Ada dua kemungkinan seseorang untuk dapat menjadi evaluator program ditinjau dari program yang akan di evaluasi. Menentukan asal evaluator harus mempertimbangkan keterkaitan orang yang bersangkutan dengan program yang akan di evaluasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut evaluator dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu Evaluator dalam dan Evaluator luar.
1        Evaluator Dalam ( Internal Evaluator )
Yang dimaksud dengan evaluator dalam adalah petugas evaluasi program yang sekaligus merupakan salah seorang dari petugas atau anggota pelaksan program yang di evaluasi. Adapun kelebihan dan kekurangan dari evaluator dalam yaitu:
Kelebihan :
1)      Evaluator memahami betul programyang akan di evaluasi sehingga kekhawatiran untuk tidak atau kurang tepatnya sasaran tidak perlu ada. Dengan kata lain, evaluasi tepat pada sasaran.
2)      Karena evaluator adalah orang dalam, pengambil keputusan tidak perlu banyak mengeluarkan dana untuk membayar petugas evaluasi.
Kekurangan :
1)      Adanya  unsure – unsure subyektifitas dari evaluator, sehingga berusaha menyampaikan aspek positif dari program yang di evaluasi dan menginginkan agar kebijakan tersebut dapat di implementasikan dengan baik pula. Dengan kata lain evaluator  internal dapat di khawatirkan akn bertindak subyektif .
2)      Karena sudah memahami seluk – beluk program, jika evaluator yang ditunjuk kurang sabar,kegiatan evaluasi akan dilaksanakan dengan tergesa – gesa sehingga kurang cermat.
2.      Evaluator Luar ( External Evaluator )
Yang dimaksud dengan evaluator luar adalah orang – orarng yang tidak berkait dengan kebijakan dan implementasi program.Mereka berada diluar dan diminta oleh pengambil keputusan untuk mengevaluasi keberhasilan program atau keterlaksananaan kebijakan yang sudah diputuskan. Melihat bahwa status mereka berada diluar program dan dapat bertindak bebas sesuai dengan keinginan mereka sendiri maka tim evaluator luar ini biasa dikenal dengan nama tim bebas atau independent team.
Kelebihan :
1)      Oleh karena tidak berkepentingan atas keberhasilan program maka evaluator luar dapat bertindak secara objektif selama melaksanakan evaluasi dan mengambil kesimpulan. Apa pun hasil evaluasi tidak ada respon  emosional dari evaluator karena tidak ada keinginan untuk memperlihatkan bahwa program tersebut berhasil. Kesimpulan yang dibuat akan lebih sesuai dengan keadaan dan kenyataan.
2)       Seseorang ahli yang dibayar, biasanya akan mempertahankan kredibelitas kemamapuannya. Dengan begitu, evaluator akan bekerja secara serius dan hati – hati.
Kekurangan :
1)      Evaluator luar adalah orang baru, yang sebelummnya tidak mengenal kebijakan tentang program yang akan dievaluasi. Mereka berusaha mengenal. Dan dan mempelajari seluk beluk program tersebut setelah mendapat penjelasan atau mempelajari isi kebijakan, ada hal – hal yang kurng jelas. Hal itu yang wajar karena evaluator  tidak ikut dalam proses kegiatannya. Dampak dari ketidak jelasan pemahaman tersebut memungkinkan kesimpulan yang diambil kurang tepat.
2)      Pemborosan, pengambil keputusan harus mengeluarkan dana yang cukup banyak untuk membayar evaluator bebas.
Perbedaan menonjol anatara evaluator luar dengan evaluator dalam adalah adanya satu langkah penting sebelum mereka mulai melaksanakan tugas. Oleh karena evaluator adalah pihak asing yang tidak tahu- menahau dan tidak berkepentingan dengan program, yang diasaumsikan belum memahami seluk beluk program maka terlebih dahulu tim tersebut perlu mempelajari program yang akan di evaluasi.
Hal – hal yang perlu dipelajari oleh seseorang evaluator meliputi tujuan program, komponen program, siapa pelaksananya, dan pihak – pihak mana yang terlibat, kegiatan apa saja yang sudah dilaksanakan, dan gambaran singkat tentang sejauh mana tujuan program sudah dicapai.Sesudah tim evaluator betul – betul memahami program, barulah mereka mulai menyusun rencana atau desain evaluasi. Dalam proses memantapkan desain dan instrumen ( paling tidak kisi – kisi instrument ) tim evaluator sebaiknya masih terus berhubungan dengan salah seorang personel atau lebih baik lagi jika dapat melibatkan penanggung jawab program agar ketika sampai pada saatnya harus mengumpulkan dan, evaluator tidak ragu – ragu lagi dalam melangkah.


No comments: