UU BHP: Menuju Pendidikan Nirlaba Yang Profesional


Pendidikan memiliki peran amat penting untuk membangun peradaban bangsa sebesar Indonesia. Pendidikan merupakan sarana efektif untuk meningkatkan kecerdasan warga negara dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kesejahteraan umat manusia. Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional dari bangsa ini adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Agar bangsa ini mampu bersaing dalam percaturan global dan mencapai kemandirian di masa mendatang, pemerintah harus memiliki kemauan politik (political will) yang kuat dalam melakukan reformasi pengelolaan pendidikan. Keberhasilan reformasi dalam pengelolan pendidikan secara nasional diharapkan akan mampu mendorong keberhasilan reformasi di bidang hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya. Karena melalui pengelolaan pendidikan yang bermutu dan berkualitas akan lahir sumber daya manusia yang unggul dan siap berkompetisi.
Upaya reformasi sistem pendidikan tentu tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan sekehandak selera hati. Melainkan harus berpedoman pada seperangkat aturan yang diwujudkan dalam bentuk peraturan yang jelas (rule & regulation), yang dirancang berdasarkan pendekatan sistemik dan kesadaran rasional demi kebaikan serta kepentingan orang banyak. Kita pun mesti tetap berpegang pada prinsip demokratis, berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam konteks pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) yang telah disahkan pada Sidang Paripurna DPR RI hari Rabu 17 Desember 2008, upaya melakukan reformasi pengelolaan pendidikan tersebut mesti didasarkan pada dua buah pertanyaan penting yang menjadi roh RUU BHP. Pertama, Badan Hukum Pendidikan seperti apakah yang kita butuhkan, bukan sekadar yang kita inginkan untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada anak-anak Indonesia? Kedua, desain sistem pengelolaan pendidikan seperti apakah yang hendak kita wujudkan untuk menunjang efektifitas dan efisiensi penyelenggaraan pendidikian dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membagun manusia seutuhnya?
Nirlaba dan Profesional
Ada dua poin mendasar yang perlu dipahami dari muatan UU BHP ini dalam rangka reformasi penyelenggaraan pendidikan, yakni BHP adalah badan NIRLABA yang PROFESIONAL.
Dikatakan nirlaba, karena dalam UU BHP terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: pertama, BHP tidak boleh mengambil keuntungan (laba) dari penyelenggaraan pendidikan (pasal 4). Seandainya BHP mendapatkan keuntungan dari hasil kegiatannya, maka keuntungan dan seluruh sisa hasil usaha dari kegiatan BHP, harus ditanamkan kembali ke dalam badan hukum pendidikan untuk meningkatkan kapasitas dan/atau mutu layanan (pasal 37 ayat 6, pasal 38 ayat 3, pasal 42 ayat 6).
Kedua, BHP menjamin dan membantu kalangan tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan dari tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan Perguruan Tinggi (pasal 40 ayat 3). Bahkan, BHP menanggung seluruh biaya pendidikan dasar tingkat SD/MI dan SMP/MTS yang diselenggarakan oleh pemerintah (pasal 41 ayat 1). Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi, BHP menyediakan paling sedikit 20 persen peserta didik mendapatkan pendidikan gratis bagi yang tidak mampu secara ekonomi (pasal 46 ayat 2).
Ketiga, dalam UU BHP ada ketentuan bahwa BHP wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. BHP wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik (pasal 46 ayat 1 dan 2).
Keempat, BHP pendidikan menengah dan pendidikan tinggi tidak boleh memungut dana berlebihan dari masyarakat, maksimal 1/3 (satu pertiga) biaya operasional (pasal 41 ayat 8 dan 9). Selain peserta didik yang memperoleh beasiswa, peserta didik lainnya hanya membayar sesuai dengan kemampuan dalam pembiayaan (pasal 41 ayat 7). Ini karena seluruh biaya investasi, infrastruktur, alat, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan untuk pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK/MA dan Perguruan Tinggi semuanya ditanggung pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 41 ayat 1, 3 dan 5).
Kelima, bagi BHP yang mengambil pungutan dari masyarakat lebih dari yang dibatasi, ada sangsi administratif berupa teguran lisan, teguran tertulis, penghentian pelayanan dari Pemerintah atau pemerintah daerah, penghentian hibah, hingga pencabutan izin. Semenatara, bagi BHP yang menyalahgunakan kekayaan dan pendapatannya seperti mengambil keuntungan dari kegiatan pendidikan, maka ia akan dikenakan sangsi dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan dapat ditambah dengan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)- pasal 63.

Ketentuan dalam pasal-pasal UU BHP tersebut menggambarkan bahwa BHP sangat menghindari terjadinya komersialisasi dan kapitalisasi dalam pendidikan.
Sementara terkait dengan BHP sebagai badan yang profesional, karena dalam BHP ada ketentuan-ketentuan sebagai berikut. Pertama, BHP diwajibkan memenuhi organ-organ yang di dalamnya terdiri atas berbagai unsur pengelolaan pendidikan, dengan dijelaskan secara rinci mengenai fungsi, tugas, peran dan struktur masing-masing organ tersebut (pasal 14-33).
Kedua, BHP memberikan peluang otonomi pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar dan menengah, serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi (pasal 3). Yang berarti bahwa BHP diberikan keleluasaan dalam hal kewenangan dan kemampuan untuk menjalankan kegiatan secara mandiri baik dalam bidang akademik maupun non-akademik (pasal 4 ayat 2).
Ketiga, BHP mengatur adanya akuntabilitas publik bagi yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah, dan pendidikan tinggi, yang terdiri atas akuntabilitas akademik dan akuntabilitas non-akademik (pasal 47). Akuntabilitas di sini bermakna kemampuan dan komitmen untuk mempertanggung jawabkan semua kegiatan yang dijalankan badan hukum pendidikan kepada pemangku kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 4 ayat 2 butir b).
Keempat, dalam BHP ada prinsip transparansi, yaitu keterbukaan dan kemampuan BHP dalam menyajikan informasi yang relevan secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan standar pelaporan yang berlaku kepada pemangku kepentingan (pasal 4 ayat 2 butir c). BHP juga menekankan adanya pengawasan yang dilakukan melalui sistem laporan tahunan mengenai manajemen dan keuangan (pasal 48-54). Bahkan, laporan keuangan tahunan BHP pendidikan tinggi, harus diumumkan kepada publik melalui surat kabar berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan papan pengumuman (pasal 51 ayat 3).
Kelima, BHP mengatur SDM pendidikan yang terdiri atas pendidik dan tenaga kependidikan, yang dapat berstatus pegawai negeri sipil yang dipekerjakan atau pegawai badan hukum pendidikan dengan membuat perjanjian kerja (pasal 55). Sehingga, status kepegawaian dalam BHP menjadi jelas dan ada kontrak untuk mencapai kinerja pendidikan.
Keenam, BHP dituntut agar dapat menjamin mutu dan kualitas pendidikan serta mampu memberikan pelayanan terbaik pada pemangku kepentingan pendidikan melalui prinsip penjaminan mutu dan layanan prima. Sehingga, para pemangku kepentingan terutama peserta didik bisa merasakan kepuasan.
Dengan pendekatan nirlaba dan profesinal dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut, maka kita bisa menyimpulkan bahwa konsep pendidikan BHP tidaklah sama dengan BHMN yang selama ini dipandang terlalu komersil dan liberal dalam pendidikan. Kehadiran BHP justru akan mengoreksi keberadaa BHMN. Pasal 66 ayat 2 menegaskan, Perguruan Tinggi BHMN harus mengubah bentuk dan menyesuaikan tata kelolanya sebagai BHP.
Implementasi UU BHP ini, selain pemerintah menyediakan dana yang cukup besar juga perlunya pengawasan semua pihak agar UU BHP ini dapat berjalan sesuai dengan harapan yaitu badan pendidikan nirlaba yang profesional.
http://www.fpks-dpr.or.id/?op=isi&id=6547&kunci=2
sumber:

No comments: